Terpopuler - Era Jokowi Iuran BPJS Mahal, Begini Saran Rizal
INILAHCOM, Jakarta - Kenaikan premi BPJS Kesehatan di era Joko Widodo, sungguh memberatkan rakyat. Alasannya untuk menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan. Lagi-lagi rakyat harus mengelus dada.
Kebijakan ini tentunya berlaku bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI) maupun umum. Adapun nantinya, penyesuaian tarif iuran diusulkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp160.000 per bulan per jiwa untuk kelas 1 peserta umum atau non PBI. Jumlah kenaikannya mencapai dua kali lipat dari sebelumnya yang sebesar Rp80.000.
Sementera itu, untuk kelas 3 baik PBI dan non PBI diusulkan menjadi Rp42.000 per bulan per jiwa, atau naik dua kali lipat untuk peserta PBI yang sebelumnya Rp23.000 dan non PBI sebesar Rp25.500.
Kenaikan tarif ini akan diterapkan pada awal 2020. Namun Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menyebut kenaikan tarif berlaku 1 September 2019. “Iya…(1 September 2019), sudah, udah bisa berlaku,” kata Puan usai rapat di Ruang Banggar, DPR RI, Kopleks Parlemen, Senayan Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Ia menembahkan, bahwa kenaikan tersebut menyusul usai temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) soal kondisi keuangan BPJS Kesehatan mengalami pembengkakkan defisit di tahun 2018.
Berdasarkan penuruturan Menteri Keuangan Sri Mulyani di DPR Selasa lalu, defisit BPJS kesehatan diprediksi tembus hingga Rp32 triliun. Puan memastikan jika keputusan Sri Mulyani, untuk menaikan tarif BPJS kesehatan di semua kelas hingga dua kali lipat merupakan keputusan yang tepat. “Iya (kenaikan) itu untuk memperbaiki apa namanya BPJS Kesehatan ke depan, sesuai dengan hasil review BPKP dan hasil komitmen dari semuanya,” jelasnya.
Sementara itu, jauh sebelumnya ekonom senior Indonesia, Rizal Ramli menyampaikan bahwa pemerintah harus memiliki cara jitu untuk memperbaiki kondisi tersebut. “Sangat menyedihkan, bagaimana tidak, hari ini BPJS Kesehatan mengalami kesulitan keuangan. Dokter dan tenaga medis telat digaji. Tagihan apotik dan Rumah Sakit kelas menengah, belum dibayar,” tegasnya, dikutip dari tayangan dialog salah satu stasiun televisi swasta nasional, beberapa waktu lalu.
Padahal menurutnya, kehadiran BPJS Kesehatan adalah ide yang bagus, saat ia bersama para buruh Prof. Thabrani, dan sejumlah tokoh lainnya perjuangkan ide BPJS sejak tahun 2010-2011. “Tapi saat ini yang terjadi program tersebut under- funded dan iuran perusahaan sangat rendah,” jelas mantan anggota tim panel penasihat ekonomi PBB itu.
Ia juga menawarkan setidaknya ada empat poin penting sebagai solusi atas defisit yang terjadi pada BPJS Kesehatan, yang pertama yakni; pemerintah harus menyuntikkan modal BPJS Kesehatan Rp 20 triliun. Saat ini Modal awal BPJS Kesehatan hanya Rp 5 triliun. “Modal awal BPJS Rp 5 triliun, BPJS dirancang ‘gagal finansial’ sejak awal,” jelasnya.
Sementara itu yang kedua adalah; revisi Undang-Undang BPJS soal besaran iuran. Mantan Menko Maritim ini juga menyarankan iuran pekerja maksimal 2% dari pendapatan sementara perusahaan 6%. Besaran ini bisa disesuaikan berdasarkan tingkat pendapatan. Misalnya, di bawah upah minimum kerja di gratiskan.
Selain itu yang ketiga; penyesuaian pembayaran klaim penyakit kronis dan terminal yang disesuaikan dengan pendapatan pasien. “Untuk penyakit menengah atas dan orang kaya, harus top up. Prinsipnya dari sisi penerimaan dan pembayaran harus cross subsidy,” tambahnya.
Kemudian yang keempat, kembangkan komputerisasi dan sistem online untuk mengatasi pelayanan yang jelek, keluhan pekerja soal antrean panjang dan prosedur lama.”ini semua harus diperbaiki, karena semua dinegara-negara berkembang memiliki cara yang tepat untuk memperbaiki sektor ini,” tutupnya. [tar]
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Terpopuler - Era Jokowi Iuran BPJS Mahal, Begini Saran Rizal"
Post a Comment